Sahabat Pena Muslim! Polemik yang terjadi baru-baru ini tentang perbadaan penetapan tanggal 1 ramadhan mendapat perhatian khusus dari kaum muslimin, sehingga banyak yang bertanya; kenapa terjadi perbedaan dalam penetapan awal bulan Ramadhan di tahun ini? Apa faktor utama penyebab perbedaan ini?
Perlu diketahui, setidaknya ada faktor utama yang menyebabkan perbedaan ini terjadi, yaitu perbedaan metode yang digunakan dalam penetapan masuknya bulan baru. Secara umum ada dua metode yang diterapkan dalam menentukan masuknya bulan Qamariah; pertama: metode rukyat. Dan Kedua: metode hisab.
Kami menyadari bahwa Permasalahan ini adalah permasalahan yang besar, maka penulis di sini hanya berusaha untuk merangkum permasalahan-permasalahan yang terdapat pada dua metode ini dalam pandangan ulama-ulama Islam, agar mempermudah memahami akar permasalahannya. Juga menjelaskan sesuai langkah dan sikap seorang muslim yang cerdas dalam menanggapi perbedaan dua metode ini.
Contents
Metode Rukyat Dalam Pandangan Islam.
Pada permasalahan pertama ini, ada beberapa poin penting yang perlu sahabat pahami tentang metode Rukyat ini:
1. Apa yang dimaksud dengan metode rukyat?
2. Dalil-dalil yang berkaitan dengan metode rukyat.
3. Pandangan ulama Islam terhadap metode Rukyat.
Apa Yang Dimaksud Dengan Metode Rukyat?
Metode Rukyat adalah berupa kegiatan melakuka observasi langsung terhadap Hilal (Bulan sabit muda) pada sore hari ke-29 atau malam ke-30dari bulan yang sedang berjalan, pada saat matahari terbenam baik dilihat dengan mata telanjang atau dengan alat bantu seperti; teleskop.
Apabila di Ufuk Barat, di sekitar Matahari terbenam, Hilal baru dapat dilihat, maka malam itu dan keesokan harinya dinyatakan sebagai tanggal 1 bulan baru. Namun, apabila hilal tak terlihat maka malam itu dan keesekon harinya di nyatakan sebagai hari ke-30 dan bulan baru akan ditetapkan lusanya.
Dalil-Dalil Yang Berkaitan Dengan Metode Rukyat.
Rujukan atas metode rukyat berdasarkan dari Firman Allah dan Hadist-Hadist Nabi Shalalallahu ‘Alaihi Wasallam.
1.Dalil Dari Al-Qur’an.
Allah Ta’ala berfirman dalam Surat Al-Baqarah Ayat 189.
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ
“Mereka (para sahabat) bertanya kepada Nabi Muhammad tentang Hilal (yaitu Bulan sabit muda). Katakanalah: “Bahwa Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji.
Ulama mengatakan bahwa Ayat ini menunjukkan, bahwasanya ada beberapa ibadah dalam Islam yang sangat berhubungan dengan waktu munculnya hilal, di antaranya; ibadah haji, ibadah puasa di bulan Ramadhan, Hari Raya Islam, dan sebagainya.
Juga Firman Allah Ta’ala dalam Surat Al-Baqarah Ayat 185.
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Karena itu, barang siapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Ayat ini menunjukkan syari’at melihat hilal dalam penetepan ibadah puasa. Karena Allah menjelaskan bahwa kewajiban seseorang melaksanakan ibadah puasa pada bulan Ramadhan, seseuai dengan tempat di mana dia menyaksikan hilal di negeri ia bermukim.
2. Dalil Dari Sunnah.
Hadist Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wasallam.
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ فِي رِوَايَةٍ فَأَقْدِرُوا ثَلاَثِينَ
” Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai kalian melihatnya lagi, jika Hilal tersebut tertutup awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh.”(HR.Bukhari)
Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda:
فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan. Bila penglihatan kalian tertutup mendung maka sempurnakanlah bilangan (bulan Sya’ban) menjadi tiga puluh hari.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wasallam juga bersabda:
إذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا ، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا
” Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka berbukalah.”
Hadist-Hadist ini menjadi dasar kuat metode Rukyat Hilal dalam penetapan bulan baru dalam Islam. karena sebagian ulama berpendapat bahwa perintah Rasulullah dalam hadist ini menunjukkan kewajiban dalam penetapan masuknya bulan baru. Apabila tidak terlihat karena terhalangi mendung atau lainnya, maka dengan cara menyempurnakan bulan tersebut 30 hari.
3. Dalil Dari Perbuatan Sahabat.
عن ابنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عنهما قال: تراءى النَّاسُ الهلالَ، فأخبَرْتُ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم أنِّي رأيتُه، فصامه، وأمَرَ النَّاسَ بِصِيامِ
Dari Ibnu Umar Radhiallahu’anhuma, beliau berkata: Di zamannya Rasulullah hidup, (di akhir hari bulan Sya’ban) orang-orang berkumpul untuk melihat Hilalnya Ramadhan, kemudian aku melihat Hilal tersebut dan mengabarkannya ke Rasulullah, lalu beliau bersabda: maka berpuasalah dan perintahkan orang-orang juga untuk berpuasa (besok). (HR.Abu Daud)
Pandangan Ulama Terhadap Metode Rukyat.
Menurut Jumhur Ulama bahwa metode Rukyat perkara ta’abbudiah (ibadah) yang menjadi dasar dalam penetapan ibadan puasa di bulan Ramadhan. Apabila Hilal tidak terlihat maka dengan cara menyempurnakan bulan tersebut 30 hari. Karena itu bagi jumhur Ulama, metode Hisab tidak dapat di jadikan sebagai dasar dalam penetapan jatuhnya Bulan baru.
Al Mawardi rahimahullah (salah seorang ulama Syafi’i) mengatakan, “Allah Ta’ala memerintahkan kita untuk berpuasa ketika diketahui telah masuk awal bulan. Untuk mengetahuinya adalah dengan salah satu dari dua perkara. Boleh jadi dengan ru’yah hilal untuk menunjukkan masuknya awal Ramadhan. Atau boleh jadi pula dengan menggenapkan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Karena Allah Ta’ala menetapkan bulan tidak pernah lebih dari 30 hari dan tidak pernah kurang dari 29 hari. Jika terjadi keragu-raguan pada hari keduapuluh sembilan, maka berpeganglah dengan yang yakin yaitu hari ketigapuluh dan buang jauh-jauh keraguan yang ada[1].
Imam Nawawi berkata: “Wajibnya puasa Ramadhan dengan rukyatul hilal atau dengan menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari (bila tak terlihat Hilal[2].
Ibnu Daqiq ‘Id mengatakan: Menurut pendapat saya, metode Hisab tidak boleh dijadikan sandaran dalam puasa[3].
Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Tidaklah mereka –yang hidup di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam– mengenal hisab kecuali hanya sedikit dan itu tidak teranggap. Karenanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan hukum puasa dan ibadah lainnya Ru’yah untuk menghilangkan kesulitan dalam menggunakan ilmu astronomi pada orang-orang di masa itu.
Seterusnya hukum puasa pun selalu dikaitkan dengan Ru’yah (melihat) walaupun orang-orang setelah generasi terbaik membuat hal baru dalam masalah ini[4].
Ijma’ Ulama
Bahkan sebagian Ulama menukilkan bahwa metode rukyat dalam menentukan Hilal termasuk perkara Ijma’ yaitu perkara yang telah disepakati oleh semua Ulama terdahulu, dan tidak boleh ada yang menyelisihinya. Di antara Ulama yang mengatakan perkara ini adalah Ijma’; Ibnu Hazm, Ibnu Qudamah, Az-Zarkasyi, Ibnu taimiyah,Ibnu Munzir dan lainnya.
Ibnu hajar menjelaskan: Ibnu As Sabbagh berkata: ‘Adapun metode hisab, tidak ada ulama mazhab kami (Maliki) yang membolehkannya tanpa adanya perselisihan‘. Sebelum beliau, juga telah dinukil dari Ibnul Mundzir dalam Al Asyraf: ‘Puasa di hari ketiga puluh bulan Sya’ban tidaklah wajib jika hilal belum terlihat walaupun cuaca saat itu cerah, menurut ijma para ulama[5].
Metode Hisab Dalam Pandangan Islam
Adapun permasalahan kedua ini, terdapat juga poin penting yang perlu di perhatikan:
1. Apa yang dimaksud dengan metode Hisab.
2. kriteria yang sering digunakan dalam metode hisab.
3. Pandangan dan dalil yang membolehkan menggunakan metode Hisab.
Apa Yang Dimaksud Dengan Metode Hisab.
Metode Hisab adalah proses penentuan perpindahan bulan kamariah dengan perhitungan astronomis terhadap posisi bulan sore hari pada hari terjadinya konjungsi (ijtimak) Bulan dan Matahari. Dalam ilmu Astronomi konjungsi merupakan peristiwa saat matahari dan bulan berada segaris di bidang ekliptika yang sama.
Kriteria Yang Sering Digunakan Dalam Metode Hisab.
Ada dua kriteria yang sering digunakan dalam metode hisab atau dunia ilmu astronomi:
Pertama: Metode Imkan Rukyat (kemungkinan Bulan dapat terlihat).
Metode ini merupakan bagian dari metode hisab hakiki yaitu perhitungan Astronomis terhadap posisi Bulan pada sore hari konjungsi. Artinya metode ini berpendapat bahwa adanya hilal belum teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata baik langsung ataupun alat bantu.
Kedua: Metode Wujudul Hilal (Hilal berada di atas ufuk).
Metode ini menganggap Bulan Qamariah baru dimulai apabila pada hari ke-29 berjalan saat Matahari terbenam terbenuhi 3 syarat: 1- Telah terjadi Ijtimak (konjungsi), 2- Ijtimak (konjungsi) itu terjadi sebelum Matahari terbenam, dan 3- Pada saat terbenamnya matahari piringan atas Bulan berada di atas ufuk (bulan baru telah wujud). Artinya jika 3 syarat ini terpenuhi bahwa Hilal (awal bulan) sudah ada, meskipun tidak tampak atau terlihat.
Kriteria metode hisab ini yang biasanya dipakai Muhammadiah dalam menentukan awal bulan Ramadhan ataupun awal Syawal.
Pandangan Dan Dalil Yang Membolehkan Menggunakan Metode Hisab.
Menurut pandangan golongan yang membolehkan, bahwa metode dalam menentukan masuknya bulan Qamariah bukan perkara ibadah, melaikan hanya sebagai sarana untuk mengetahui masuk dan keluarnya bulan. Karena ia sebagai sarana, maka ia bisa berubah-ubah sesuai dengan zaman. Sehingga tidak ada kewajiban hanya memakai satu media dan membuang media yang lainnya.
Bahkan sebagian ulama di zaman modern sekarang, menganggap memakai metode hisab lebih utama di bandingkan metode Rukyat, karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan zaman sekarang sangat berkembang.
jika pada zaman Rasulullah perantara yang paling mudah dilakukan hanya dengan obsevasi mata telanjang, maka sekarang observasi tentunya bisa dengan mengunakan peralatan modren dan canggih, atau menggunkan ilmu hisab yang tingkat kesalahannya sangat minim.
Adapun ulama-ulama terdahulu yang membolehkan menggunakan metode Hisab: Mutharrif bin Abdillah (salah seorang ulama tabi’in), Abul Abbas ibnu Suraiji (ulama Syafi’i), Ibnu Qutaibah, Abu Thayyib At-Thabari (ulama Syafi’i), dan lainnya.
Pandangan ini berdasarkan pemahaman hadist Rasulullah Shalalallahu ‘alaihi Wasallam. Dalil-dalinya sebagai berikut:
1. Rasulullah Shalalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
لاَ تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلاَلَ ، وَلاَ تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْهُ فَإِنْ أُغْمِىَ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
” Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tidak terlihat karena tertutup awan maka perkirakanlah.”
Jika diperhatikan, pendalilan Hadist ini sama dengan dalil yang berkaitan dengan Rukyat, akan tetapi terdapat perbedaan tafsiran dalam memahami kalimat terakhir; yaitu (فَاقْدُرُوا لَهُ), sebagian ulama berpendapat bahwa kalimat “perkirakanlah” artinya perkirakanlah dengan ilmu hisab kalian, menunjukkan bolehnya memakai metode Hisab dalam penentuan awal masuknya bulan baru.
Jadi hadis ini ditunjakkan kepada mereka yang memahami ilmu falak atau ilmu astronomi, adapun Hadist yang “ jika tak terlihat maka sempurnakanlah 30 hari” di tunjukkan kepada mereka yang tidak memilik kemampuan dalam Ilmu hisab atau untuk orang Awam.
2. Rasulullah Shalalallahu ‘alaihi Wasallam bersabda:
إنا أمة أمية، لا نكتب ولا نحسب، الشهر هكذا وهكذا. يعني مرة تسعة وعشرين، ومرة ثلاثين.
“bahwa kami ini adalah ummat yang tidak bisa membaca dan berhitung, dalam setiap bulankadang terdapat 29 hari atau kadang 30 hari” (HR.Bukhari).
Hadist ini menjelaskan keadaan zaman terdahulu yang mengharuskan mereka untuk memakai metode Rukyat dalam menuntukan masuknya awal bulan baru, dikarenakan ketidakmampuan orang di zaman saat itu dalam menggunakan ilmu hisab. Dalam kaidah fiqh mengatakan: “Bahwa hukum berputar karena adanya sebab, ada atau tidanya sebab itu”.
Artinya perintah rukyat dalam menetapkan awal bulan baru di karenakan kondisi masyarakat saat itu yang masih sedikit yang mampu membaca dan menguasai ilmu hisab. Nah, ketika orang-orang telah mampu menguasai ilmu Hisab dan ilmu pengetahuan, yang telah berkembang dengan pesatnya sepertizaman kita sekarang, maka menentukan bulan baru adalah perkara yang boleh[6].
Pandangan Mereka Terhadap Ijma’nya Metode Rukyat.
Para Ulama yang membolehkan metode Hisab sangat paham dengan kedudukan Ijma’ dalam Islam. karena Ijma’ adalah salah satu sumber Islam yang memeliki kedudukan paling tinggi setelah Al-Qu’an dan Sunnah. Akan tetapi pada perkara Ijma’ di sini mereka memahami, bahwa dahulu orang yang ahli dalam ilmu hisab, diduga memiliki ilmu perbintangan yang sering digunakan peramal atau dukun untuk perkara-perkara ghaib.
Tentu saja keilmuan seperti ini sepakat ulama ketidakbolehannya karena terdapat nilai-nilai kesyirikan di dalamnya. Adapun Ilmu Hisab pada zaman sekarang, sangat berbeda dari dugaan yang berkembang pada zaman dulu.
Kelemahan Dan Kekurangan dari kedua Metode.
Di balik kelebihan setiap metode tersebut, namun baik metode Rukyat ataupun Metode Hisab, keduanya memiliki sisi kekurangan dalam ilmu astronomi:
Kekurangan metode Rukyat:
1. Tidak dapat digunakan untuk menyusun kelender selama setahun.
2. jangkauan Rukyat terbatas sehingga tidak dapat di berlakukan ke seluruh dunia. Bahkan ada kawasan yang tidak dapat menggunakan metode Rukyat di sana, disebabkan kondisi wilayah yang tidak normal.
Kekurangan Metode Hisab:
Metode Hisab memiliki ragam rumus dalam menghitung, sehingga memunculkan hasil yang berbeda dengan ahli hisab lainnya. Ditambah lagi banyaknya macam metode dalam hisab, sehingga rawan terjadinya perselisihan dan ketidaksetaraan dalam hasil hisabnya.
Jalan tengah antara metode Rukyat dan Hisab.
Penulis meyakini bahwa antara metode Rukyat dan Hisab keduanya sangat dibutuhkan dalam observasi masuknya bulan baru. Sebab kedua metode ini mempunyai hubungan erat dalam penetapan Hilal. Sehingga kekurangan yang terdapat pada metode Rukyat dapat teratasi dengan bantuan metode hisab, begitu juga sebaliknya.
Maka pernyataan kaku yang menunjukkan “anti Hisab” atau “Anti Rukyah’ tidak dapat dibenarkan sama sekali. Selain itu dalam Sains tidak ada klaim kesempurnaan, Karena kedua teori ini mempunyai sisi kelemahan satu sama lain. Maka antara metode Hisab dan Rukyat terus saling membutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
Bahkan ada satu peristiwa yang menunujukkan pentingnya metode hisab; yaitu peristiwa dalam pengingkaran kesaksian seseorang, jika ia mengaku-ngaku melihat hilal di waktu yang mustahil menurut pandangan Hisab.
Misalnya: seseorang mengaku atau mengklaim dirinya bahwa ia melihat Hilal di malam ke-25, sedangkan dalam metode Hisab hal ini mustahil terjadi, sebab hilal tidak akan terlihat di malam itu. Dalam hal ini wajib bagi hakim atau pemerintah menolak kesaksiannya, karena metode hisab dalam peristiwa ini bersifat eksak atau pasti, sedangkan pengakuan dia melihat Hilal bersifat Dzan atau dugaan.
Bagaimana Sikap Seorang Muslim Dalam Menghadapi Perbedaan ini?
Terlepas dari perbedaan pendapat atas dua metode ini, hendaknya seorang muslim harus mengambil langkah yang bijak untuk menjaga mashlahat yang lebih besar. Mau gimanapun keseragaman dan bersatu dalam mengawali Ramadhan, Idul Fitri maupun Idul Adha bersama pemerintah dan masyarakat yang lain adalah hal terpuji. Karena pelaksaan ibadah-ibadah tersebut merupakkan Syiar yang menunjukkan bahwa agama Islam sangat memerhatikan persatuan sesama penganutnya, dan menjauhi perpecahan antar sesama umat.
Apabila pemerintah setempat telah memilih metode Rukyat sebagai Dasar dalam penetepatan Hilal dalam bulan baru Qamariah, hendaknya umat muslim mengikuti bersama pemempin dan mayoritas umat Muslim. Begitu sebaliknya, jika pemerintah setempat telah memilih metode Hisab sebagai penetapan Hilal baru, maka hendaknya berjalan bersama mereka juga, karena keputusan hakim dapat mengangkat persoalan khilafiah yang ada di tengah ummat.
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
اسمعوا وأطيعوا فإنما عليكم ما حملتم وعليهم ما حملوا
“Dengar dan taatlah (pemerintah kalian). Karena yang jadi tanggungan kalian adalah yang wajib bagi kalian, dan yang jadi tanggungan mereka ada yang wajib bagi mereka” (HR. Muslim).
Imam Ahmad Bin Hambal pernah berkata: “Berpuasalah bersama pemimpin kalian dan kaum muslimin l (di negeri kalian) baik ketika melihat hilal dalam keadaan cuaca cerah atau mendung.
Imam Ash Shan’ani berkata: Penetapan lebaran itu mengikuti mayoritas manusia. Orang yang melihat ru’yah sendirian wajib mengikuti orang lain dan mengikuti penetapan mayoritas dalam shalat Ied, lebaran dan idul adha”
Baca juga: Apa Yang Harus Dilakukan Di Bulan Ramadhan.
Kesimpulan.
1. Perbedaan pandangan Ulama pada permasalahan metode penetapan bulan baru Qamariah termasuk ranah khilafiah Fiqhiah, yang mengharuskan seorang muslim untuk berlapang dada dalam menerima perbedaan.
2. Secara garis besar, faktor utama penyebab terjadinya perbadaan karena perbedaan dalam memahami konteks Hadist.
3. Golongan yang memakai metode Rukyat meyakini bahwa metode penetapan bulan baru termasuk perkara ibadah, sedangkan yang memakai metode Hisab berpendapat bahwa metode penetapan bulan baru bukan perkara ibadah, melainkan sebagai sarana saja.
4. Setiap metode memiliki sisi kelebihan dan kekurangan, sehingga antara dua metode harus terus saling membutuhkan untuk mendapatkan hasil yang sempurna.
5. langkah yang paling bijak dalam menyikapi perbedaan ini adalah mengikuti dan berjalan dengan keputusan pemerintah setempat guna menjaga persatuan artar sesama Muslim.
Semoga Allah Ta’ala memberi taufik kepada semuanya.
[1] Al-Hawi Al-Kabir: 3/407.
[2]. Syarah Muslim: 7/189.
[3]. Ihkam Al-Hakam: 2/8
[4]. Fathul Bari: 4/127.
[5] . Fathul Bari: 4/123.
[6]. Lihat: Fathul Bari: 4/122.
Baca juga: Problematika Hisab Rukyat Di Indonesia.
Baca juga: Tanggapan dari pakar astronomi.