Hukum Adopsi Anak

Di dalam KBBI kata Adopsi artinya pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.

Tentunya perbuatan seperti ini tidak asing lagi di tengah masyarakat Indonesia. Betapa banyak orang yang memiliki anak angkat dirumahnya, dia mengasuh, merawat dan mendidik hingga menjadi orang sukses.

Namun bagaimana menurut kacamata Syari’at Islam?

Jika melihat realita kehidupan, maka akan kita dapati bahwa Adopsi anak tidak berada pada satu tingkatan, artinya memiliki perbedaan dalam prakteknya.

Ada yang sekedar mengasuh, merawat, membesarkan serta memberikan pendidikan berkualitas, tidak menjadikan anak angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri.

Diantara konsekuensi dari sikap ini:

1. Tidak boleh berdua-duaan dengan Ibu angkatnya jika dia laki-laki, atau dengan bapaknya jika dia perempuan.

2. Tidak boleh melihat aurat kedua orang tua angkat.

3. Nasabnya dinisbatkan kepada bapak kandung.

4. Bapak angkat tidak bisa menjadi wali nikah.

5. Tidak saling mewarisi.

Adopsi seperti ini dalam Islam dibolehkan, bahkan dianjurkan ketika orang tua kandung tidak mampu, atau statusnya anak jalanan (temuan). Banyak dalil dalam Al-Qur’an maupun hadits yang menganjurkan perbuatan seperti ini; karena di dalamnya terdapat unsur tolong menolong pada kebaikan dan ketakwaan, Allah berfirman,

وَتَعَاوَنُوا۟ عَلَى ٱلۡبِرِّ وَٱلتَّقۡوَىٰۖ

“Saling tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan.” (QS. Al-Ma’idah:2)

Kita juga bisa merasakan manfaat dari amalan ini, mungkin jadi anak yang diasuh kelak menjadi orang besar yang bisa memberikan manfaat terhadap agama Islam.

Terlebih lagi jika yang diadopsi anak yatim, maka ini merupakan amalan sangat istimewa, Rasulullah bersabda,

أنا وَكافلُ اليتيمِ في الجنَّةِ كَهاتين ، وأشارَ بأصبُعَيْهِ يعني : السَّبَّابةَ والوسطى

“Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”. Beliau mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengahnya.” (HR. Tirmidzi:1918).

Pada keadaan lain, ada orang yang mengadopsi anak secara sempurna, artinya dia menempatkan posisi anak tersebut seperti anak kandungnya, sehingga konsekuensinya bisa berdua-duaan di rumah, bapak angkat bisa menjadi wali, nasabnya disandarkan kepada bapak angkat, dan jika kedua orang tua meninggal maka dia berhak mendapatkan harta waris, begitu juga sebaliknya.

Baca juga : Berobat dengan Air Kencing, Bolehkah ?

Perbuatan seperti ini merupakan kebiasaan  yang sudah tersebar di seluruh tanah Arab, baik di masa Jahiliah maupun awal-awal datangnya agama Islam.

Seperti Al-Khattab (bapaknya Umar) mengangkat Amir bin Abi Rabi’ah sebagai anaknya, dan Hudzaifah juga mengangkat Salim sebagai anaknya, bahkan Rasulullah juga pernah mengadopsi anak.

Diawal-awal masa Islam masih dibolehkan, namun dengan berjalannya waktu adopsi semacam ini dilarang dalam Agama Islam, dan hukumnya haram.

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma bahwasannya Zaid bin Haritsah di masa kecilnya pernah menjadi tawanan, lalu dibawalah ke pasar Ukadz untuk dijual belikan.

Hakim bin Hizam keponakan Khadijah radhiyallahu’anha suatu saat pergi berbelanja di pasar Ukadz, Khadijah radhiyallahu’anha berpesan kepadanya agar membelikan budak yang berasal dari Arab serta memiliki akhlak mulia, itu pun jika mendapatkannya.

Sesampainya di pasar, dia mendapatkan budak yang dijual, bernama Zaid. Hakim merasa kagum dengan akhlaknya, sehingga iapun membelinya untuk bibinya, Khadijah radhiyallahu’anha.

Dia berkata, “Sesungguhnya aku telah membeli ini untukmu, seorang budak berasal dari Arab lagi berakhlak mulia, jika ini membuatmu senang maka ambillah, dan jika tidak maka biarkanlah dia; karena sungguh aku kagum kepadanya.”

Tatkala Khadijah radhiyallahu’anha melihatnya, maka beliau tertarik dengan budak tersebut, sehingga diapun mau mengambilnyanya.

Ketika Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam menikah dengan Khaijah radhiyallahu’anha, Zaid sudah bersama Khadijah. Rasulullah juga terkagum dengan akhlaknya, sehingga dia meminta budak tersebut kepada istrinya, dan Khadijah pun memberikan dengan senang hati.

Zaid tumbuh dewasa bersama Nabi Shallallahu alaihi wasallam. Suatu ketika, dia pergi ke negeri Syam karena suatu keperluan. Di tengah perjalanan dia melewati negeri kaumnya, dan kebetulan diketahui oleh pamannya, namun dia masih ragu kalau itu adalah keponakannya.

Lalu dia mendekatinya seraya berkata, “Siapa kamu wahai anak muda?”.

Zaid: Saya pemuda dari kota Mekah.

Paman: Apakah dari golongan mereka?.

Zaid: Bukan

Paman: merdeka atau budak?.

Zaid: Budak.

Paman: Milik siapa?

Zaid: Muhammad bin Abdul Muthalib.

Paman: Kamu dari bangsa Arab atau non Arab?.

Zaid: Bangsa Arab.

Terjadilah percakapan diantara mereka berdua, hingga pamannya bertanya ,”Siapa nama ibumu?”

Zaid: Su’da.

Seketika itu, pamannya langsung memeluk Zaid sembari berkata, “Anak Haritsah!!.”

Diapun memanggil bapaknya, “Wahai Haritsah, inilah anakmu.” Datanglah Haritsah, setelah bapaknya melihat Zaid diapun langsung mengenalnya.

Bapak: Bagaimana tuanmu memperlakukan dirimu?.

Zaid: Dia selalu mengutamakan aku daripada keluarga dan anaknya, dia mencintaiku, sehingga aku bisa melakukan apa yang aku inginkan.

Kemudian bapaknya, pamannya dan saudaranya pergi bersama Zaid menuju kota Mekah, mereka pun berjumpa dengan Rasulullah sallallahu alaihi wasallam.

Bapak berkata, “Wahai Muhammad, kalian adalah penduduk dan tetangga tanah haram, juga berada di sisi Baitullah. Kalian selalu membebaskan serta memberikan makanan untuk tawanan. Anakku adalah budakmu, berikanlah kepada kami, berbuat baiklah kepada kami untuk bisa menebusnya, Sesungguhnya engkau anak dari pemimpin kaum, dan sungguh kami akan membayar tebusan sesuai apa yang engkau inginkan.

Rasulullah menjawab, “Aku akan berikan sesuatu yang jauh lebih baik”. “Apa itu?”, balas mereka.

Rasulullah berkata, “Aku berikan pilihan kepada Zaid, Jika dia memilih kalian maka Ambillah tanpa harus membayar tebusan, namun jika dia memilihku maka biarkanlah dia.”

Mereka berkata, “Jazakallahu Khairan, sungguh engkau telah berbuat baik.”

Lalu Rasulullah memanggil Zaid seraya berkata, “Wahai Zaid, Apakah kamu mengetahui mereka?”.

Zaid: Iya, ini bapakku, pamanku dan saudaraku.

Rasulullah: Aku juga telah mengenali mereka, Jika kamu memilih mereka maka silahkan pergi bersama mereka, dan jika kamu memilih aku maka aku adalah orang yang kamu ketahui.

Zaid: Saya tidak akan memilih orang lain daripada engkau selama-lamanya, engkau disisiku bagaikan bapak dan paman saya.

Bapak dan pamannya bertanya, “Apakah kamu lebih memilih perbudakan?”.

Zaid: Saya tidak akan memisahkan diri dari orang ini (Muhammad).

Tatkala Rasulullah melihat besarnya kemauan Zaid untuk tinggal bersamanya, beliau berkata, “Saksikanlah, Sesungguhnya Zaid sekarang merdeka, sungguh dia telah menjadi anakku, dia berhak mendapatkan warisan dariku dan akupun mendapat warisan darinya.”

Artinya, Rasulullah akan memperlakukan seperti anak kandung sendiri.

Setelah mendengarkan apa yang beliau sampaikan, merekapun merasa tenang; karena melihat kemuliaan Zaid di sisi Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

Semenjak kejadian itu, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Zaid bin Muhammad, sebagaimana kabar dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, “Kita selalu memanggilnya Zaid bin Muhammad hingga turun firman Allah SWT,

ٱدْعُوهُمْ لِآبَآئِهِمْ

“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka.” (QS. Al-Ahzab:5).

Setelah turun Ayat tersebut, Rasulullah bersabda, “Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil.”[1] 


[1] Tafsir Ad-Dur Al-Mantsur, karya Imam Jalaluddin As-Suyuthi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

scroll to top